Memaknai Hari Kartini
(sebuah pandangan mengenai Emansipasi wanita)
Memaknai refleksi kelahiran RA Kartini yang
diperingati setiap tanggal 21 April sebagai tokoh nasional yang dikenal sangat
getol memperjuangkan gerakan emansipasi wanita di Indonesia, sepintas lalu
merupakan dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar beliau tertuang dengan
tinta emas dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya wanita,
pria bahkan waria pun sampai detik ini meyakini derap kemajuan emansipasi
wanita Indonesia dicapai berkat gerakan emansipasi yang dipelopori RA Kartini.
Untuk mengabadikan makna kepeloporan Kartini yang
hampir menjadi figur sentral wanita Indonesia, maka tidak heran jika penampilan
wanita kita di setiap tanggal 21 April, sarat dengan fenomena Kartini di
kantor-kantor pemerintah, swasta. Bahkan sejumlah unit kerja seperti TV,Radio
dll sengaja mensetting program siaran-siarannya sepanjang hari itu dengan
nuansa ke-Kartinian.
Tidak heran jika mulai dari kalangan ibu, remaja putri
hingga anak perempuan sibuk mendandani diri dengan pakaian kebaya khas Kartini
untuk ditampilkan dalam berbagai atraksi. Tak pelak lagi salon kecantikan yang
selama ini sepi pengunjung, tiba-tiba kebanjiran orderan,walau hanya sekedar
pemasangan sanggul. Semua itu merupakan ekspresi kecintaan dan kekaguman
masyarakat Indonesia terhadap sosok Kartini yang dicitrakan dalam suasana
keprihatinan sebagaimana yang dilukiskan Ismail Marzuki melalui salah satu
karya legendarisnya yang berjudul “Sabda Alam”.
Kita memang tidak dapat menerima dengan argumentasi
apapun segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Apalagi praktik pelecehan,
peremehan dan penganiayaan hak kelompok masyarakat rentan seperti kaum
perempuan. Bahkan kita harus menghilangkan, jika perlu melakukan upaya pro
justicia kepada siapa pun yang mencoba melanggar hak serta merendahkan harkat
dan martabat kaum perempuan sebagaimana konon dialami Kartini dimasa
perjuangannya. Terlebih disaat kita di kekinian telah memiliki konstitusi baru
dan sejumlah paket peraturan perundang-undangan yang telah menjamin pemenuhan
HAM dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Sebaliknya kita pun tentu setuju jika eksistensi HAM
ditempatkan dalam khasanah Indonesia di kekinian sebagaimana pula perlunya
image Kartini sebagai tokoh pejuang emansipasi wanita Indonesia untuk
diposisikan secara proporsional, objektif dan multi dimensional. Ini penting
karena opini public yang terbangun dalam memahami aspek perjuangan kemajuan
kaum wanita di Indonesia, tampaknya cenderung didominasi kalau bukan identik
dengan sosok perjuangan Kartini.
Betapa tidak karena hampir semua referensi tentang
gerakan emansipasi wanita di nusantara, tidak pernah luput pengkajiannya dengan
sosok Kartini. Tragisnya karena paradigma gerakan emansipasi wanita di
Indonesia terbangun dalam proses dialektika dan rivalitas yang menempatkan pria
dan wanita sebagai kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Tak ayal lagi
gendereng perlawanan kaum wanita atas dominasi pria pun ditabuh dengan
konstalasi issue patriarkhi dan konstruksi sosial yang bias gender.
Dengan tidak mengurangi penghargaan dan penghormatan
penulis terhadap sosok Kartini maupun setiap perjuangan menentang ketidakadilan
dan diskriminasi, namun penulis menyesalkan sekaligus menggugat tiga hal
dibalik kepeloporan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di
Indonesia. Tiga hal dimaksud meliputi :
- Seberapa jauh kebenaran deskripsi tentang R.A Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di Indxt-align: justify;">Apakah profile Kartini dalam sejarah perjuangan Indonesia, benar-benar merupakan deskripsi keberadaaonesia, menurut kronologis fakta sejarah.?
- Seberapa tinggi tingkat urgensi kepeloporan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia?
- Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Kartini lahir di Jepara tanggal 21 April 1879 dan wafat pada tanggal 17 September 1904. Dalam berbagai manuskrip tentang Kartini antara lain dikisahkan tentang idenya untuk membebaskan kaumnya dari belenggu tradisi dan konstruksi sosial yang sangat melecehkan serta merendahkan martabat perempuan pada masanya. Sejak itulah konon merebak pemahaman yang memicu gerakan emansipasi wanita di Nusantara, yang kemudian menjelma menjadi Negara Republik Indonesia seperti sekarang ini.
Jika emansipasi dikonstruksikan
sebagai konsep penyetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita untuk
berperan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, maka sesungguhnya hal
seperti itu sudah terjadi dan melembaga jauh sebelum era Kartini. Kita tentu
masih ingat kalau Majapahit sebagai kerajaan yang pernah menguasai hampir
seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara dan Madagaskar
di barat, ternyata dalam silsilah kerajaan Majapahit pernah diperintah 2 dua
perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”. dan Kusuma
Wardhani (1389-1429) M.
Catatan sejarah yang lebih tua dari
Majapahit dikenal pula sosok perempuan sebagai panutan yang sangat dihormati
yaitu Fatimah Binti Maimun. Nama tokoh ini ditemukan dalam prasasti makam yang
terletak di Leran (dekat Gresik) dalam prasasti tersebut selain nama, juga
keterangan wafat yaitu tahun 1028 M
Bukan hanya itu dalam catatan
sejarah yang lebih tua lagi dari semua yang dikemukakan di atas, dikenal juga
wanita kesohor dari kerajaan Kalingga (Holing/Keling), masa keemasan kerajaan
ini justru berpuncak ketika “Ratu Sima” berkuasa yang diperkirakan berlangsung
pada abad VII M. Dalam masa itu menurut sejarah, rakyat sungguh-sungguh sangat
merasakan nuansa kemakmuran dan keadilan.
Hal tersebut ditandai dengan
pembangunan gapura penerang disetiap persimpangan jalan yang bertatahkan emas
tanpa ada yang berniat apalagi nekat melakukan pencurian sebagaimana dikekinian
yang meski tersembunyi, dijaga ketat dan disertai ancaman hukuman berat, toh
juga dapat diterobos dengan modus korupsi dan sejenisnya.
Begitu tegas dan kerasnya Sang Ratu menegakkan hukum, menimbulkan rasa
penasaran Raja Ta- Che dengan mengirim mata-mata untuk membuktikan kebenaran
berita tentang ketegasan Ratu Sima. Mata-mata tersebut meletakkan kantong emas
di pinggir jalan dekat dengan pasar. Ternyata kurang lebih tiga tahun tidak ada
yang berani menyentuh atau mengambilnya.
Pada suatu hari, Ratu Sima bersama
putra mahkota diiringi para pejabat kerajaan mengadakan perjalanan untuk
melihat dari dekat keadaan dan kehidupan masyarakatnya . Namun tanpa sengaja
putra mahkota tersandung kantong emas sampai terjatuh . Melihat kenyataan ini,
Ratu Sima sangat marah dan memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada
putra mahkota. Tetapi berkat nasihat para pejabat istana yang menyatakan putra
mahkota tidak bersalah, maka hukuman mati diurungkan. Meski tetap dijatuhi
hukuman dengan memotong jari kaki yang menyentuh emas tersebut.. Melihat
kenyataan itu, Raja Ta-Che mengurungkan niat untuk menyerang Kalingga
Dari deskripsi yang dikemukakan di
atas membuktikan bahwa ketokohan wanita untuk tampil mengambil peran sentral
dalam masyarakat, ternyata selalu hadir disetiap zaman. Hampir setiap wilayah
di nusantara sebenarnya memiliki tokoh perempuan atau setidaknya nilai tradisi
yang mendudukkan perempuan dalam posisi sentral. Ambil contoh pada masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal.
Perempuan dalam sistem kekerabatan
ini, mempunyai kedudukan determinan dari pada laki-laki. Mulai dari soal
pewarisan hingga berbagai macam permasalahan dalam pernikahan dan perceraian,
semuanya hanya terfokus pada perempuan sebagai pemegang hak. Kaum lelaki dalam
sistem kekerabatan ini hanya berkedudukan sebagai sub ordinat atas dominasi
perempuan. Fenomena tersebut tentu sangat jauh dari alam kehidupan Kartini
dengan emansipasinya.
Tokoh perempuan lain di nusantara
yang sempat mengukir prestasi spektakuler sebagai the change of social agent
antara lain Martha Christina Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di
Maluku, Cut Nyak Dien dan Cut Muthia dua srikandi dari Nanggroe Aceh Darussalam
yang tak kenal menyerah untuk mengusir pendudukan pasukan Kape (Belanda) di
bumi persada, tak ketinggalan nama Herlina Efendi yang dianugerahi pending
Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat
dari pendudukan kolonial Belanda.
Kepeloporan emansipasi wanita di
Sulawesi Selatan sendiri, sudah lama terjadi jauh sebelum Kartini menyanyikan
lagu klasik itu. Kita tentu pernah mendengar nama Putri Ta’dampali dari istana
kerajaan Luwu yang dibuang ke daerah Wajo karena mengidap penyakit lepra.
Ditempat pembuangannya bukan saja dapat sembuh konon dengan jilatan seekor
kerbau, Putri Ta’dampali juga ternyata sukses menyulap daerah Wajo menjadi
kerajaan besar laksana baldatun tayyibatun warabbun ghafuur.
Kitab lontara karangan legendaris
Lagaligo yang sangat mashur dalam dunia kesusastraan kuno ternyata tidak punya
nilai seagung itu, seandainya tanpa sentuhan tangan Colli Pujie, lagi-lagi
seorang perempuan yang penulis kira sulit dicari tandingannya di masa kini.
Dialah yang tekun mengumpulkan serpihan lontara Lagaligo lalu ditulisnya
kembali hingga menjadi kitab utuh yang sangat monumental di seantero dunia.
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia di Sulsel tentu tidak dapat dipisahkan dengan nama Emmy Saelan. Meski
ia adalah seorang perempuan, namun semangat dan kegigihannya dalam membela
tanah air, jauh melebihi kemampuan dan kegigihan kaum lelaki pada masanya.
Bersama-sama R.W. Monginsidi , Emmy Saelan dapat melumpuhkan kekuatan kolonial
Belanda yang mempunyai persenjataan lebih baik dengan taktik berpura-pura
menyerah. Setelah itu 8 atau 9 serdadu Belanda mencoba menghampiri untuk
menangkapnya dan seketika itu pula, Emmy Saelan meledakkan granat tangan yang
menewaskan para penangkap dan dirinya sendiri.
Dengan fakta sejarah sebagaimana
yang dikemukakan di atas, terkuaklah bukti bahwa jauh sebelum era Kartini, kaum
wanita sesungguhnya telah mendulang kesetaraan dengan kaum pria bahkan
nyata-nyata telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengambil peran sosialnya
jauh melebihi peran Kartini. Tapi mengapa nama mereka ini dengan prestasi
spektakulernya tak pernah disebut-sebut dalam setiap episode gerakan emansipasi
wanita di Indonesia? Dan mengapa pula mereka dapat menjadi faktor determinan
dalam tatanan kehidupan pada masanya?. Padahal kalau kita runut dari logika
pencerahan, maka kurang apa ortodoks dan konservatifnya tatanan kehidupan yang
melembaga dalam akar tradisi yang berlaku ketika itu.
Kepopuleran Kartini sebagai penggerak
emansipasi wanita Indonesia mungkin terjadi akibat propaganda kolonial Belanda.
Kesimpulan ini dapat ditarik dari korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh
perempuan di negeri penjajah itu yang kemudian diekspos melalui media dan
buku-buku. Semua ini mungkin sengaja dilakukan Belanda untuk menebar
pertentangan dan perpecahan (Devide at Impera) sebagai taktik untuk
menghancurkan dan melemahkan semangat pemberontakan nasional. Ditengarai juga
sebagai ajang akulturasi budaya dan nilai Belanda untuk menjamah struktur nilai
dan budaya Indonesia agar dapat tunduk dan simpati kepada kolonial Belanda.
Sampai disini popularitas Kartini
sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di nusantara ternyata sarat dengan
kepentingan politik dan menapikkan silsilah perjuangan perempuan yang jauh
lebih prestius sebelum masanya. Bahkan sangat boleh jadi popularitas Kartini
lebih menonjol akibat promosi Belanda sebagaimana anekdot yang mengisahkan
kepopuleran telur ayam dari pada telur bebek, puyuh dll adalah karena karateristik
ayam yang selalu berkotek setiap akan dan sudah bertelur, hal mana tidak
terjadi pada hewan petelur lain.
Karena itu penulis sangat sesalkan
flatform perjuangan perempuan Indonesia dengan starting point pada sosok
Kartini yang lemah dan teraniaya. Akan lebih baik jika gerakan emansipasi
wanita Indonesia memunculkan figur yang menjadi symbol perempuan Indonesia yang
kuat. Piawai, elegan, dan berbagai elemen superioritas. Mungkin dengan pola
seperti ini setidaknya dapat mengubah image buruk publik terhadap perempuan
baik sebagai kelompok rentan maupun polarisasi yang bertendensi rivalitasnya
dengan kaum pria. (Mukhaelani)****
Sumber : Majalah Gema Bersemi edisi 03/2010
Sumber : Majalah Gema Bersemi edisi 03/2010
0 komentar:
Posting Komentar