21/4. Hari Kartini telah umum diperingati sebagai hari nasional oleh
masyarakat Indonesia terutama kaum wanita. Peringatan hari kartini dilakukan saat ini
dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari perlombaan memasak tingkat
kelurahan, fashion show kebaya, karnaval,
dan lain sebagainya. Namun kelihatannya yang
berlangsung sekarang ini kebanyakan bersifat seremonial belaka, tanpa makna.
Terkait dengan “emansipasi wanita” yang diusung oleh Ibu Kartini,
tentu kita harus meninjau kembali emansipasi
bagaimana yang dimaksud. Tentu , kita sangat menyetujui penghapusan
diskriminasi dan pengacuhan hak seorang wanita. Seperti halnya dahulu pada masa
feodalisme (Eropa hingga abad ke-18), dominasi filsafat dan teologi yang
cenderung sarat dengan pelecehan feminitas, secara struktur dan kultural telah
menempatkan perempuan pada posisi yang sangat rendah, sumber godaan dan kejahatan, tak memiliki hak
dan terpinggirkan. Tentu, kita juga
tidak menghendaki jika wanita hanya dijadikan alat eksplotasi dan pemuas semata.
Namun, jika “emansipasi” dikatakan
sebagai penyetaraan hak dan kewajiban pria dan wanita seperti yang diusung
faham feminis, penulis pribadi tidak menyetujuinya. Bagaimana mungkin, makhluk ALLAH
SWT yang diciptakan dengan fisik berbeda, dengan kadar kemampuan dan kebutuhan
yang berbeda, dibebankan kepada peran dan tanggung jawab yang sama? Sebagai wanita, penulis pasti akan menuntut
jika dibebankan dengan pekerjaan berat yang diluar batas kemampuan sebagai
wanita. Juga akan menyetujui adanya perbedaan perlakuan dalam pekerjaan seperti
cuti hamil, pengaturan shift kerja, dll. ^^